Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 Maret 2012

Masyarakat Urban dan Pelestarian Sungai

            Wakil Presiden Budiono telah menetapkan beberapa rencana aksi gerakan nasional perbaikan standar kebersihan, 3 November 2011 yang lalu di Istana wakil presiden.
Enam point yang menjadi sasaran utama, salah satunya adalah pembersihan sungai-sungai yang mengaliri kota dan pemukiman. Penetapan sasaran ini menemukan urgensinya, sebab sungai-sungai di Indonesia, khususnya yang mengalir di kota-kota besar, mulai terganggu keseimbangannya. Menurut hasil kajian Kementrian Lingkungan Hidup 2010, 33 sungai
besar di Indonesia telah tercemar oleh limbah, baik limbah berat, sedang maupun ringan. Hampir 70-80 persen sungai tercemari oleh limbah domestik. Sehingga sungai kita telah beralih fungsi sebagai tempat sampah dan jamban raksana bagi masyarakat. Padahal di perkotaan, air sungai ini menjadi bahan baku bagi air PDAM yang dialirkan ke rumah-rumah warga. bahkan ada beberapa masyarakat perkotaan yang memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci.
            Berubahnya fungsi ekologis sungai tidak lepas dari pengaruh pembangunan yang terus digalakkan pemerintah. Ledakan pembangunan, tak pelak telah menyedot kaum urban datang kekota. Mereka berbondong-bondong mengadu nasib ke kota-kota besar dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan. Alih-alih memiliki kemampuan dan keahlian, mereka rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan skill yang terbatas. Sehingga bukan pekerjaan dan kehidupan yang layak yang didapat, tapi justru kehidupan yang serba susah.
Karena terbatasnya lahan di perkotaan, para kaum urban membuka hunian salah satunya di kawasan stren sungai. Mereka memanfaatkan bantaran sungai sebagai lahan tempat tinggal. Awalnya kawasan ini dihuni hanya beberapa orang, namun lambat laun menjadi puluhan bahkan ratusan orang. Mereka hidup berdesak-desakan yang secara visual terkesan kumuh dan jorok. Masyarakat urban ini juga memiliki perilaku yang kurang baik, yaitu kebiasaan melakukan MCK di sungai, membuang limbah rumah tangga baik organik maupun non organik ke sungai.
Pola pertumbuhan kawasan tepi sungai semacam ini lambat laun akan merusak fungsi koridor riparian sungai sebagai jalur hijau. Akibatnya,  baik secara biotik maupun abiotik, terjadi perubahan fungsi ekologi kawasan bantaran sungai sebagai pelindung lereng dari erosi lateral dan longsor (land slide), musnahnya habitat satwa “penyaring” polutan yang masuk ke sungai serta perubahan fungsi suplai nutrient dari luruhan vegetasi tepi sungai yang menyuburkan sungai.
             
Menumbuhkan partisipasi masyarakat
Alih fungsi Kawasan Tepi Air Sungai (KTAS) yang kian tak terkendali, menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi oleh kota yang memiliki aliran sungai. Fenomena ini menjadi problem yang komplek. Sebab tidak hanya semata-mata masalah lingkungan, namun juga sosial, ekonomi dan keamanan. Dalam rangka meminimalkan dampak negatif dari pemanfaatan KTAS, diperlukan pemahaman dan penanganan semua aspek yang menyertai secara komprehensif dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan sosial, budaya serta ekologis kawasan,
Sebagai regulator negara, pemerintah pusat maupun daerah telah berusaha menangani permasalahn ini. Namun sayangnya, pendekatan yang dipakai seringkali hanya berhenti pada pendekatan punitif-represif (sekadar melakukan razia dan relokasi) tetapi tidak ditindaklanjuti dengan upaya pembinaan yang efektif.
Pemerintah juga sudah menerbitkan perangkat perundangan yang mengatur tentang masalah pemanfaatan bantaran sungai sebagai kawasan jalur hijau. Akan tetapi sekali lagi, problemnya tidak semata-mata persoalan lingkungan. Ada faktor ekonomi dam sosial disana, sehingga upaya perencanaan, perancangan, serta pengendalian pemanfaatan KTAS tidak boleh dilakukan secara sektoral.
Menurut Tjokrowinoto (1987), penanganan problem yang melibatkan manusia didalamnya, akan lebih tepat jika mempertimbangkan faktor psikologis dengan menggunakan strategi yang berkelanjutan (sustainable development), agar menumbuhkan self sustaining capacity dari masyarakat. Artinya, penanganan problem pencemaran sungai karena adanya alih fungsi jalur hijau sebagai hunian, seharusnya berpusat pada masyarakat urban itu sendiri sebagai subjeknya. Strategi ini akan menumbuhkan partisipasi mereka dalam pelaksanaannya.
Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam prosesnya, pertama; perubahan mindset masyarakat urban agar berwawasan ekologis, sehingga mereka tidak lagi membuang sampah dan tinja kesungai, kedua; penguatan ekonomi yang berangkat dari potensi yang mereka miliki. Sampah menurut saya adalah faktor yang berpotensi ekonomi bagi kaum urban. Masyarakat urban diberikan pelatihan pengolahan sampah baik organik maupun non organik, hingga menjadi barang yang bernilai ekonomi. Dari sini, diharapkan dapat menopang perekonomian masyarakat urban, ketiga; pemberian bantuan modal bagi masyarakat urban. Modal ini sangat penting agar mereka dapat melakukan inovasi dan pengembangan terhadap potensi lokal yang mereka miliki, dalam hal ini adalah pemanfaatan limbah sampah, keempat; penguatan dan pendampingan dari sisi merketing. Sebuah produksi dikatakan berhasil apabila proses pemasaran berjalan dengan lancar. Pada level ini, diperlukan sebuah regulasi ekonomi yang memihak pada produk-produk kerakyatan. Produk masyarakat urban belum bisa dilepas begitu saja ke pasaran untuk bersaing dengan produk lain yang sejenis.
Empat langkah ini, apabila berjalan dengan efektif, dua keuntungan yang akan didapat, pertama; pencemaran lingkungan sungai dapat diminimalisir, kedua; terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat urban, sehingga mereka dapat hidup layak dan mandiri dilingkungan yang lebih kondusif.  Pemerintah pada akhirnya tidak perlu repot-repot melakukan penggusuran dan relokasi, karena pada akhirnya, masyarakat di bantaran sungai akan mencari sendiri tempat yang layak bagi kehidupan mereka.