Total Tayangan Halaman

Senin, 16 Januari 2012

Bangsa Penuh Amarah

            Tahun 2011 telah berlalu berganti dengan tahun baru 2012. Sejarah telah mencatat beragam peristiwa  terjadi  sepanjang tahun 2011, tak terkecuali kasus-kasus  kerusuhan dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat kita. Mulai dari bentrok antar warga dibeberapa daerah, tragedi berdarah Sodong, Mesuji, kasus bentrokan polisi dan warga di Bima, hingga yang paling baru penyerangan warga kepada sebuah pesantren di Madura. Kerusuhan dan kekerasan yang terjadi ini seringkali berdarah-darah, hingga menimbulkan korban luka bahkan meninggal.
Tahun 2011 lalu, wajah Indonesia tampaknya penuh dengan kegeraman. Masyarakat cenderung menyelesaikan masalah dengan penuh amarah. Dari sini lalu muncul pertanyaan, apakah hasrat menghancurkan ini sesuatu yang melekat pada diri manusia Indonesia? Menjadi bagian dari karakter rakyat indonesia? Padahal selama ini masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya santun dan ramahnya, yang berarti jauh dari perilaku merusak.
            Menurut Erich Fromm dalam bukunya, The Anatomy of Human Destructiveness, tahun 1973, kekerasan yang dilakukan oleh manusia dipicu oleh kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan individu berkembang secara positif. Kondisi ini menjadi penghambat bagi tegaknya kepentingan dasar manusia, sehingga individu bereaksi untuk mempertahankan eksistensinya.
Pendapat Fromm ini setidaknya memberikan gambaran bahwa dorongan agresi yang muncul pada masyarakat Indonesia bukanlah watak dan karakter yang melekat pada diri manusia Indonesia, sehingga bisa timbul dengan sendirinya. Akan tetapi sesuatu yang muncul karena ada faktor yang menstimulasinya. Dorongan ini lebih bersifat reaktif.
Kemiskinan, kebodohan, perlakuan diskriminatif, adanya pelanggaran HAM, sistem yang timpang, sifat konsumerisme, semuanya melahirkan ketakberdayaan, kekecewaan dan kemarahan yang berujung pada perilaku agresi. Dan tampaknya rakyat Indonesia sedang mengalami kekecewaan dan frustasi akibat lingkungan yang kurang berpihak pada kepentingan eksistensinya. Masyarakat telah memendam amarah atas kondisi yang mereka hadapi.
Ambil saja contoh tragedi berdarah di Bima. Bentrokan fisik antara warga dengan aparat yang berujung pada kematian ini , merupakan bentuk perilaku penuh amarah.  Warga menjadi gampang tersulut amarah karena frustasi atas ketimpangan yang terjadi. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. Sehingga merasa eksistensinya terancam. Dalam kondisi demikian, kemampuan mendasar yang berupa rasionalitas menjadi tidak berfungsi. Alih-alih berfikir sehat, reaksi yang muncul malah menimbulkan kerusakan, kematian dan kekacauan sosial.

Kekerasan oleh para elit
Para elit negara yang melakukan korupsi sejatinya juga telah melakukan tindak kekerasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Mereka bertindak agresi dengan mengambil hak-hak rakyat. Nafsu menguasai hak orang lain oleh para elit ini semata-mata demi kesenangan. Dalam bahasa Erich Fromm disebut dengan agresi destruktif. Dorongan semacam ini muncul bukan karena mereaksi dari suatu kondisi timpang, akan tetapi lebih  pada adanya perasaan tak berdaya menghadapi “rasa tidak puas” dalam diri mereka. Para elit merasa tidak puas dengan gaji yang didapat. Merasa kurang dengan fasilitas yang telah diperoleh. Ketidakpuasan ini melahirkan amarah yang mendorong mereka melakukan penghancuran sistem demi memuaskan keinginannya. Lebih memihak kepentingan kapital daripada kepentingan rakyat, karena dirasa lebih memuaskan ketakberdayaannya. Lebih sibuk dengan pencitraan daripada mengambil keputusan yang berisiko tapi demi kepentingan rakyat. Karena pencitraan dianggap dapat memuaskan ketakberdayaan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.
Penghancuran dan kekerasan yang telah pemerintah lakukan berdampak sistemik bagi negara. sehingga efeknya lebih dahsyat dibanding kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Kekerasan para elit ini melahirkan frustasi sosial dalam masyarakat kita. Rakyat menjadi marah karena kelakuan para elit yang tidak memihak kepentingannya. Nafsu destruktif para elit telah menjadi pendorong masyarakat melakukan tindakan agresi pula. Bagaikan mata rantai yang saling berkelindan. Sehingga untuk menyelesaikan akar kekerasan dalam masyarakat, perlu diputus mata rantainya.
Sebagai regulator negara, pemerintahan harus memulainya dengan menciptakan kesejahteraan yang seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonsia. Tidak hanya untuk golongan tertentu saja. Pengelolaan dan pendistribusian hasil alam harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat disemua level. Pemerintah juga mutlak harus melakukan peningkatan kesejahteraan, pemenuhan hak-hak asasi dan rasa aman bagi rakyat, penegakan hukum yang bersih dan seadil-adilnya, jaminan kesehatan dan pendidikan bagi seluruh warga negara.  Semoga tahun 2012 ini menyisakan harapan ditengah amarah yang masih berkobar.
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar