Total Tayangan Halaman

Jumat, 12 Agustus 2011

Deradikalisasi dari kacamata psikologis

            Publik layak merasa prihatin dengan maraknya kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. sebut saja bom buku Pepi Fernando, bom masjid  Cirebon, jaringan pembunuh polisi di Poso, teror racun sianida di Jakarta dan yang paling gress ditemukannya kelompok radikal di Pondok Pesantren Umar bin Khattab, di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Bima Nusa Tenggara Barat.
            Beruntunnya teror oleh kelompok radikal,menunjukkan bahwa jaringan teroris di Indonesia telah mengembangkan sayapnya sedemikian cepat dan masif, hingga polisi sulit mengendusnya. Pertanyaannya, mengapa  radikalisme, yang nota bene  identik dengan kekerasan dan kebencian sedemikian mudah menyebar di kalangan masyarakat Indonesia? Virus macam apa sebenarnya ideologi radikal itu?
Radikalisme merupakan ajaran teologi yang ekstrim, berlebihan dan memiliki pandangan yang sempit.  Radikalisme menjadi tumbuh subur dipicu oleh faktor internal dan eksternal seperti pemikiran, ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan faktor psikologis.  Semua faktor tersebut, menjadi amunisi bagi kelompok radikal untuk melakukan tindak  kekerasan terhadap orang-orang yang berada diluar kelompok mereka.
            Menurut  analisa psikologis, perilaku teror kelompok radikal, berkaitan dengan fikiran (thinking),  perasaan (felling) dan tindakan (action). Cara berfikir sebagai hasil dari pengelolaan informasi yang berpusat pada fungsi kognitif dan proses persepsi, sehingga menghasilkan pemahaman ajaran agama. Seringkali fikiran kaum radikal merupakan hasil pemahaman dangkal terhadap ajaran agama berdasar dari sumber yang tidak otentik. Misalnya buku-buku terjemahan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, atau memperoleh dari orang yang pemahaman agamanya kurang luas dan mendalam. Ahli kedokteran berbicara tafsir, ahli kimia membahas Al Qur’an atau ahli teknik bom membicarakan ayat-ayat tentang jihad.
Selanjutnya pemahaman yang telah diperoleh, dan tentunya mengalami distorsi dan penyelewengan dari ruh agama yang sebenarnya, menjadi bahan untuk mempersepsikan lingkungan yang mereka hadapi. Kelompok radikal ini melakukan penentangan-penentangan terhadap realitas yang ada. Mereka mempersepsi bahwa keterjepitan ekonomi yang dialami atau carut marutnya sosial politik merupakan akibat dari tidak totalnya mengamalkan ajaran agama. Sehingga satu-satunya jalan selamat adalah mengamalkan ajaran agama dengan “sebenar-benarnya”. Dan tentunya benar menurut persepsi mereka sendiri. Namun sayangnya, cara-cara yang ditempuh sangat kaku dan keras. Mereka menganggap orang lain yang memiliki persepsi agama berbeda atau diluar kelompok mereka adalah kafir, sehingga wajib dibunuh.
Kebencian dan kemarahan lalu menjadi kekuatan negatif yang menjadi pilihan sikap kelompok radikal. Penggabungan fungsi emosi dan perasaan ini menyangkut keyakinan (belief) terhadap apa yang telah mereka fahami. Dorongan rasa marah dan benci yang begitu kuat, karena keyakinan yang dimiliki, menghilangkan naluri kemanusiaan hingga mereka tega menyakiti dan membunuh orang diluar kelompok mereka. Alih-alih merasa kasihan, bahkan mereka merasa puas jika tindak teror yang mereka lakukan berjalan lancar dan sukses.

Upaya deradikalisasi para teroris
Menurut psikologi abnormal, individu yang mengalami rasa marah, benci, kecewa, cemas dan tertekan hingga menempuh jalan yang merusak diri sendiri atau orang lain merupakan perilaku abnormal.  Individu ini mengalami kesulitan menyesuaikan diri (maladaptif) terhadap keadaan yang dihadapi, sehingga mereka lari pada hal-hal yang dapat memuaskan dan menyamankan dirinya. Hal ini hampir sama dengan proses psikologis yang terjadi pada orang-orang radikal.
Awalnya mereka memiliki “idealitas” tentang kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Idelitas ini tercipta dari proses kognitif yang menghasilkan sebuah pemahaman tertentu. Tapi ternyata realitas yang terjadi jauh dari pemahaman yang telah terbangun. Lalu muncul lah perasaan-perasaan negatif dalam diri mereka, yang kemudian dikuatkan oleh faktor eksternal, seperti masalah ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Perasaan-perasaan negatif ini selanjutnya menjadi daya dorong bagi individu radikal untuk melakukan tindak yang merusak diri sendiri atau orang lain, seperti bom bunuh diri untuk melukai orang lain.
Setelah diketahui proses pembentukan keyakinan yang mendorong perilaku radikal para teroris, sejatinya akan lebih mudah melakukan deradikalisasi bagi mereka. Karena sesungguhnya distorsi dan penyelewengan yang terjadi adalah pada ranah kognitif, maka perlu terapi yang berkaitan dengan rekontruksi wilayah kognitif. Dalam dunia konseling dan psikoterapi, seringkali diterapkan CBT (cognitive behavior therapy). Metode terapi ini berusaha membongkar bangunan pemahaman individu radikal, dengan mengganti harapan yang tidak wajar menjadi lebih realistik .
Pembongkaran yang dilakukan harus dengan penuh empati. Perlu skill dan kemampuan khusus, misalnya penerimaan (acceptance), pemahaman (understanding), mendengarkan secara aktif (active listening),  merasakan apa yang dirasakan (reflection feeling).
Pertama, terima apa adanya sosok individu radikal ini. kemudian pahami apa yang menjadi idelita dalam fikiran mereka dan tindakan yang telah dilakukan, misalnya cita-cita mewujudkan negara khilafah, mengkafirkan orang diluar kelompok mereka, melakukan teror bom dimana-mana.  Selanjutnya dengarkan dan rasakan apa yang menjadi pikiran dan perasaannya. Barulah kemudian dilakukan dialog untuk mengubah keyakinan mereka yang tidak rasional. Merekontruksi kembali pemahaman agama mereka yang ekstrim menjadi lebih moderat. Karena sesungguhnya agama mengajarkan sikap moderat (tawassuth) dan toleransi (tasamuh) terhadap perbedaan. Agama juga merupakan rahmat bagi seluruh alam yang memiliki ajaran kasih sayang, bukan kebencian dan kemarahan.
Menjelang ramadhan ini, sudah saatnya pemerintah dan ormas-ormas moderat memperlakukan kelompok radikal lebih manusiawi. Lebih mengedepankan tindakan mengajak daripada mengejek, merangkul daripada memukul dan mengutamakan proses mendidik daripada menghardik. Karena sesungguhnya penjara dan hukuman tidak akan dapat mematikan keyakinan yang menjadi ideologi kelompok radikal (by: Ainna Amalia FN)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar